KABUT
Pada suatu hari aku merasa
sangat bosan dengan kehidupanku yang begitu-begitu saja. Para medioker pasti
relate dengan hal ini. Bangun pagi, berangkat kerja, pulang, repeat. Sebuah
pikiran spontan muncul di ruang ide ku. Pagi hari itu aku memutuskan untuk
rehat sejenak dari rutinitas monoton yang melelahkan. Kuhubungi “Bos” tempatku
bekerja untuk izin tidak dapat masuk kerja dengan alasan sakit. Aku pun mulai
mengambil tas carrier ku dan mulai packing segala alat dan logistik untuk
pendakian ku kali ini. Setelah packing, aku pergi keluar untuk membeli nasi
bungkus di kampung sebelah. Kupacu perlahan kuda besi ku sambil membayangkan
suasana tenang seperti apa yang akan kudapatkan nantinya. Mendaki sudah menjadi
hobiku sejak jiwaku terlukai oleh hal hal duniawi yang sebenarnya tidak begitu
mempengaruhi kehidupanku. Sebenarnya ada banyak hal yang kusukai selain mendaki
yang dapat mengusir rasa bosan ini. Mendaki juga termasuk olahraga ekstrem yang
sebenarnya mempunyai risiko yang sangat besar. Kalo kata warga net malah
aktivitas yang mendekatkan diri pada kematian. Ya, itu memang benar. Tapi di
saat yang bersamaan aku juga merasa lebih hidup. Sebagai orang yang memiliki
jantung lemah seperti saya, mendaki adalah kegiatan yang tidak
direkomendasikan. Akan tetapi, hal ini adalah sebuah bentuk rasa terima kasih
ku kepada pegunungan karena telah membantuku untuk bisa keluar dari masa-masa
yang sulit. Aku bukanlah orang buta yang membuang tongkatnya ketika diberi
keajaiban untuk bisa melihat. Singkat cerita setelah kembali dari menyantap
hasil olahan bumi, aku tertidur di ranjang kamarku sehabis berkelana dengan
kendaraan pikiran ku tentang hal apa saja yang akan kulakukan ketika ada di
gunung nanti.
Aku
terbangun ketika sinar senja masuk ke dalam kamarku melalui kaca jendela.
“Ah, sial aku ketiduran, ini pasti hasil “insomnia”
kemarin.” Umpatku.
Segera aku bergegas membersihkan diri dan lekas
menggendong tas carrierku dan melaju sekencang kencangnya mengejar sinar surya
yang perlahan mulai tenggelam. Aku memang sengaja tidak izin dulu dengan orang
tua karena jika kulakukan pastinya tidak akan diizinkan. Mulai awal aku
tenggelam dalam dunia alam saya sudah tidak diizinkan untuk menggeluti bidang
ini oleh orang tua. Sempat sudah ku diskusikan kalau ini adalah hobiku, sebuah
passion dan tongkat ku yang membantuku berjalan ketika aku masih buta. Banyak
hal yang kudapat dari sini, Teman, Pengalaman, Ilmu, Filosofi baru. Tetapi,
bagaikan lantunan adzan yang sering diabaikan oleh mustami’, Segala opiniku tak
dihiraukan. Akhirnya aku dengan terpaksa mencabut segala panah dakwah yang
tertancap di tubuhku. Aku sampai di basecamp pendakian ketika matahari sudah
terlelap. Akupun segera melakukan registrasi disana, pihak basecamp memberi
tahu kalau di gunung ini ada pantangan tersirat kalau dilarang melakukan
aktivitas pendakian dengan jumlah orang yang ganjil.
“Masa saya harus pulang lagi pak? Rumah saya jauh loh
pak. Diatas apa gk ada pendaki lain pak?”
“Kebetulan baru saja pendaki terakhir turun mas. Kalo
weekday memang sepi pendaki mas, baru kalau weekend itu parkiran sudah penuh
biasanya.”
“Terus bagaimana pak?”
“Masnya duduk di gubuk situ saja, tunggu sampai ada
pendaki lain yang ingin naik. Nanti mas nya bisa trekking bareng bareng”
“Okelah pak. Makasih ya”
Aku berjalan ke gubuk tua itu dan langsung melepas
tasku yang berat ini. Aku duduk bersantai sambil menyeduh kopi hangat buatan ku
barusan. Satu jam berlalu tidak tampak sama sekali kendaraan yang mendekat
menuju basecamp. Dua jam berlalu sampai rokokku sudah habis setengah bungkus.
Aku pun dihadapkan dengan sebuah persimpangan batin, yang satu jalan kembali
menuju rumah dan yang satu lagi melanjutkan rencana pendakian ku ini seorang
diri. Entah karena ambisi atau apa aku memilih pilihan terakhir, karena memang
gunung ini ada dalam wishlist gunung yang ingin ku singgahi sebelum nanti
disibukkan oleh banyaknya tanggung jawab duniawi. Aku berjalan kembali ke pos
registrasi untuk mengkonfirmasi keputusanku ini kepada pihak basecamp. Ternyata
penjaga basecamp nya sudah tertidur pulas diiringi musik dari radio yang sedang
memutar lagu rembulan ciptaan Ipa Hadi Sasono itu.
Setelah
berdoa akupun nekat berjalan memasuki hutan pinus yang lebat. Aroma petrichor
mulai masuk ke dalam indra ku. Angin malam yang bergesekan sopan dengan
kulitku. Dihiasi lukisan Tuhan di langit malam serta diiringi syair dan sajak
dari para katak dan jangkrik. Pikiranku mulai dibanjiri dengan dopamin-dopamin
kebahagiaan yang di produksi secara brutal oleh tubuhku. Setelah dua jam
berjalan aku sampai di pos 1 yang ternyata ada warung disana dan masih buka.
Segera aku melepaskan lelahku di bangku bambu yang terlihat reot tapi masih
gagah itu. Penjaga warung menyapaku dengan senyum yang teduh dengan kerutan
kerutan wajah yang menandakan bahwa masa muda kakek ini dipenuhi dengan kerja
keras.
“Kopi hitam pahit satu pak”
Kataku membuyarkan lamunan sang penjaga warung. Kakek
tua itu bergegas menyeduhkan kopi ke dalam gelas dan memutar mutarkan sendoknya
perlahan namun stabil.
“yang lain mana mas?”
“saya sendirian pak”
Kakek itu pun mengernyitkan dahi keheranan. Kemudian
dengan senyum yang lebih hangat ia menghampiri ku dan menyodorkan segelas kopi
hangat di meja.
“gak diberitahu mas sama orang bawah?”
Akupun kembali teringat akan peringatan penjaga pos
tadi
“sudah pak, tadi saya sempat menunggu beberapa jam
dengan niatan mencari teman trekking bareng, tapi tak ada satupun yang datang
ke pos registrasi.”
“ya sudah, nanti saya temenin kebetulan rumah saya ada
di atas, bawah nya pos 3 dikit. Sebenarnya bukan rumah sih mas, lebih ke gubug
tempat penyimpanan hasil panen. Soalnya saya besok mau ke kebun untuk mengolah
hasil tanaman saya”
Kamipun berbincang santai sambil menikmati kafein dan
nikotin yang memberi rasa tenang ditemani candaan-candaan ringan yang menambah
hangat situasi tersebut.
Setelah
menutup kedai sederhana miliknya kami pun melangkah menuju gelapnya hutan. Kali
ini kontur medan berubah menjadi lebih menanjak ditemani hutan lumut yang
menambah kesan petualangan bagiku. Sambil berjalan kami bercerita panjang lebar
mengenai pengalaman kehidupan masing-masing. Tak terasa satu jam berjalan kami
pun sampai di pos 2 dan memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil melakukan
aktivitas pembakaran. Bedanya aku membakar tembakau dan si kakek membakar dupa
di sebelah pohon tua besar yang berdiri kokoh di samping shelter bambu yang
berdiri tegap tak lekang oleh waktu. Kami berdua lalu duduk santai di shelter
tanpa berbicara satu sama lain. Sebenarnya aku penasaran apa tujuan beliau
menyalakan dupa dan lain sebagainya. Tapi aku tidak berani bertanya karena raut
wajah kakek itu mulai menunjukkan guratan tegas seolah berbicara kepadaku bahwa
diam dan nikmati saja apa yang disediakan oleh alam. Kabut tebal pun mulai
turun. Membatasi jarak pandang kami. Akupun dengan spontan mengubah intensitas
lampu headlamp menjadi lebih terang dari sebelumnya. Setelah habis rokokku sang
kakek mengisyaratkan kembali melanjutkan perjalanan. Jalur mulai berubah
mengecil memaksa kami tidak bisa berjalan berdampingan lagi. Sekarang giliran
aku yang berada di depan karena lampu dari headlampku menyala lebih terang dari
lampu flashlight tua yang di bawa si kakek. Di tengah perjalanan aku lebih banyak
diam karena dengan kondisi yang lebih menanjak dan kabut yang semakin tebal
dari waktu ke waktu memaksa saya untuk mengatur ritme nafasku, hal ini
membuatku hanya mendengarkan apa yang sang kakek ucapkan. Sedangkan si kakek
terlihat lebih vokal dari yang sebelumnya di shelter hanya diam membisu. Kini
ia lebih sering menceritakan kehidupannya dan kadang ia melantunkan lagu jawa
campursari yang sering di bunyikan ketika pagelaran wayang diselenggarakan.
Semakin dalam kami menembus kabut semakin menyempit jalur yang kami lalui.
Sontak aku merasa ada hal yang aneh, Karena harusnya gunung via ini adalah yang
menjadi favorit para pendaki, sangat tidak mungkin apabila jalur yang tiap hari
ramai dilalui pendaki menjadi dipenuhi rumput liar yang lebat. Sambil berjalan
aku mengeluarkan hpku dan membuka aplikasi peta offline untuk trekking. Dan
benar saja, aku sudah melenceng jauh dari jalur yang seharusnya kulalui. Pantas
saja aku merasa ada yang janggal. Akupun memasukkan hpku kedalam kantong dan
kembali melanjutkan perjalanan. aku berpikir mungkin ini jalan menuju gubug
sang kakek. Karena sedari tadi navigator sebenarnya adalah sang kakek, ia yang
menuntun langkah kakiku menuju ke sini. Mungkin ia ingin ditemani hingga sampai
ke gubugnya. Urusan nanti kembali ke jalur, gampang lah aku juga ada aplikasi
peta di hp. Semakin lama berjalan, semakin tebal kabut, semakin dingin angin
malam menyentuh kulit, semakin lelah kaki melangkah. Aku pun merasa gelisah dan
mencoba berpikir secara rasional. Aku pun spontan menoleh kebelakang dengan
tujuan untuk menanyakan kepada si kakek apa benar ini jalannya. Alangkah
terkejutnya aku bahwa sang kakek yang daritadi berbicara kesana kemari kini
menghilang. Akupun panik bukan main. Aku mencoba menenangkan diri dengan
membakar rokokku dan duduk di sebuah batu. Reflek aku membaca seluruh ayat ayat
kitab suci yang ku ingat. Setelah itu aku kembali membuka hpku dan kini keadaan
semakin menjadi genting dimana titik point aku berada hilang entah kemana,
mungkin karena aku sudah melenceng jauh dari jalur. Setelah menenangkan pikiran
aku berkjalan perlahan kembali dengan niatan semoga bisa sampai menuju jalur
yang seharusnya.
Dari
kejauhan aku samar samar melihat sebuah lampu di balik tebalnya kabut. Aku pun
berlari ke arah cahaya itu dengan harapan bahwa ada pendaki lain yang sedang
mendaki. Setelah lama ku perhatikan cahaya itu tidak bergerak dari tempat
asalnya. Hingga jarak di antara aku dan cahaya semakin dekat, barulah terlihat
jelas bahwa cahaya itu adalah lampu dari sebuah desa yang terkesan tua. Aku
kembali di banjiri oleh gelombang ketakutan, panik, gelisah, bercampur menjadi
satu. Kemudian ada wanita muda memakai kebaya menghampiriku. Aku dapat
menafsirkan demikian karena rambutnya yang panjang terurai bebas di antara
lengannya. Aku bingung, ingin aku lari menjauh, tapi aku juga penasaran. Sosok
itu berjalan pelan menembus kabut yang tebal. Begitu jarak kita semakin dekat.
aku diam terpesona melihat wanita muda itu, parasnya yang cantik mampu membuat
melati iri dengan warna kulitnya.
“mau cari siapa mas?”
“ehm, aku mau cari jalan kembali ke jalur pendakian.
Barangkali mbaknya tahu”
“oh, masnya tersesat ya. Kalo dari sini jauh mas. Bisa
5 jam an untuk sampai”
Aku pun kaget karena dari pos 2 tadi aku berjalan
sekitar hanya 30 menit an. Wanita itu tersenyum dan menyodorkan tangannya
“Dita”
Akupun menjabat tangannya
“Afri”
“Mampir dulu saja mas ke rumah, dilanjut besok pagi
saja, daripada kenapa-kenapa”
Akupun berjalan mengikuti langkahnya menuju rumah
sederhana yang paling ujung. Disana Dita menyilahkan ku masuk ke ruang tamu
menyuruhku duduk ditemani lampu temaram dan suara jangkrik bersahutan. Kemudian
dia masuk ke dalam rumah dan kembali membawa teh hangat serta makanan ubi ubi
an, diikuti oleh pria paruh baya dan wanita setengah usia.
“pak, buk ini Afri, dia tersesat di dalam hutan jadi
aku menyuruhnya istirahat disini, besok dia kembali melanjutkan perjalanannya”
Setelah perkenalan singkat dan berbincang tipis. Orang
tua Dita izin untuk meninggalkan obrolan dan beristirahat untuk bersiap siap
menghadapi hari esok, meninggalkan ku dan Dita berdua. Dari balik gorden
penutup ruang tamu keluar asap dupa dengan aroma yang begitu menyengat. Tiba
tiba aku merasakan kantuk yang hebat. Dita menyadari hal itu dan menyilahkanku
mengikutinya untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Akupun merebahkan
tubuhku ke kasur, tubuhku terasa lumpuh. Akupun memejamkan mataku, sayup sayup
kudengar suara lirih berkata “kau sudah ada dalam genggamanku”.
Di
alam imajinasi aku bermimpi menjalani rutinitasku seperti biasa, bekerja,
ngopi, dll. kemudian aku dibangunkan oleh nyanyian ayam bersahut sahutan di
pagi hari. Tubuhku terasa sangat berat, lalu Dita datang dengan senyum manisnya
membawakan ku air putih.
“minum dulu mas” sambil matanya seperti membaca mataku
Akupun tersedak, lalu dia dengan lembut menyeka air
yang tumpah di tubuhku sambil tetap memandangi wajahku. Secara tidak sadar aku
juga mendekatkan wajahku semakin dekat. kemudian ibu Dita memanggilnya dari
arah belakang rumah. Setelah itu aku menumpang mandi. Kemudian aku menyeduh teh
buatan Dita yang mulai dingin. Dan bermaksud untuk kembali melanjutkan
perjalanan.
“Perjalanan? kemana? Untuk apa?” aku mendadak
melupakan semua hal penting itu. Di dalam pikiranku hanya ada Dita dengan wajah
teduhnya.
“bukankah aku telah sampai. Bukankah aku sudah
menemukan apa yang kucari selama ini.” Setelah perkelahian hebat di pikiranku
mulai mereda, aku mulai membayangkan indahnya hidup disini bersama Dita.
Perasaan gila para pemuda pun mulai merasuki ku. Ya, cinta yang entah bagaimana
mulai tumbuh subur tanpa disirami oleh air mata. Perlahan aku mulai meniadakan
diriku sendiri, yang kupikirkan hanyalah bagaimana membuat Dita bisa tersenyum
lepas. Secara tidak sadar aku juga telah melupakan kehidupan lamaku. Entah bagaimana
aku juga tidak sadar bahwa semua barang-barangku telah hilang entah kemana. Aku
juga lupa tentang jati diriku. Aku bukanlah pendaki, aku hanyalah pengembara
ulung yang telah menemukan tujuannya. Semua yang kulalui kemarin hanyalah
imajinasi. Aku telah hidup disini bersama orang yang kucintai. Aku tidak peduli
tentang diriku yang kupedulikan hanyalah Dita seorang. Kemudian ayah Dita
membuyarkan lamunanku dan mengajakku menuju kebunnya. Disana aku belajar
bagaimana cara merawat kebun dengan penuh cinta. Lalu kami berdua beristirahat
di sebuah gubug. Kulihat dari kejauhan ibu Dita berjalan kemari membawa sebuah
rantang makanan, kemudian beliau menyuguhkan makan siang untuk disantap oleh
kami bertiga. Setelah makan siang dan obrolan santai tengah hari ayah Dita
menyuruhku kembali ke rumah untuk mengambil sebuah pestisida yang tertinggal.
Sesampainya di depan rumah kulihat Dita sedang menyapu teras disinari oleh sang
mentari. Kulitnya yang bersinar akibat pantulan bulir keringatnya dengan cahaya
sang mentari, menciptakan sebuah harmoni yang sangat indah. Aku pun diam
terpaku.
Hari
demi hari kulewati tanpa mengutarakan perasaanku kepadanya karena takut hal itu
mungkin akan menyakitinya. Aku rela memendam rasa ini selama bisa melihatnya
tersenyum dengan candaan yang setiap hari kubuat demi untuk melengkungkan
bibirnya. Seiring waktu berjalan perasaanku tumbuh semakin liar. Hingga pada
suatu hari aku tidak bisa membendung lagi perasaanku dan mengutarakan seluruh
rasa yang menyelimuti hatiku.
“Dita, engkau adalah sinar matahari, sedangkan aku
adalah sebuah lilin yang perlahan membakar habis diriku sendiri dengan api
hasrat di hadapanmu. Keindahanmu bak taman bunga mawar, sedangkan aku bagaikan
menara api yang menyala dengan kerinduan. Jika kau padamkan api cintaku, engkau
bagaikan menebarkan benih benih cinta dan aku menyiraminya dengan air mata”
“Afri, Selamatkan aku dari lubang kesunyian, karena
sinar hidupku memudar di tengah alam ini. Jangan takut, karena aku adalah
milikmu”
Kami pun kemudian saling memeluk satu sama lain. Lalu
aku memberanikan diri mengutarakan niatku kepada ayah Dita untuk meminang Dita.
“baik nak, niat mu saya terima. Aku tidak meminta agar
Dita engkau berikan sebuah perhiasan, tanah, kebun berhektar-hektar, dan
puluhan sapi. Tapi cukup bawalah anakku menuju surga, bimbinglah dia. Apa
engkau sanggup”
“Saya akan berusaha dengan apa yang saya bisa dan
terus berkembang supaya bisa mewujudkan permintaan bapak”
Setelah itu kami berdua akhirnya hidup bahagia bersama
hingga dikaruniai malaikat kecil yang lucu. Tetapi tak lama setelah itu muncul
bercak aneh pada tubuhku. Berwarna hitam legam muncul di dahiku. Dan yang
anehnya lagi hanya aku yang dapat melihatnya. Hari hariku dipenuhi dengan
kebahagiaan, tapi semakin aku merasakan indahnya kebahagiaan noda hitam itu
semakin membesar. Pada suatu hari buah hatiku jatuh sakit. Sangat parah, suhu
tubuhnya semakin tinggi hari demi hari. Segala upaya telah dilakukan oleh kami
dan penduduk desa. Akan tetapi hasilnya nihil, hingga akhirnya malaikat kecilku
terbang menjauh menuju pangkuan sang maha kuasa.
Waktu
pun berlalu, aku telah mengikhlaskannya, anak saya dipanggil pulang, ini sudah
rencananya, dan saya bersyukur ia pernah hadir dalam hidup saya. Berbeda dengan
Dita ia semakin tenggelam larut dalam lautan kesedihan. Semakin hari tubuhnya
semakin lemah dan sakit. Akupun hanya pasrah kepada sang maha kuasa. Hingga 3
bulan setelahnya, Dita pamit kepadaku untuk pergi ke pemakaman. Hari mulai
gelap, akupun khawatir kepadanya. Akupun menyusul nya ke pemakaman. Tapi, tak
seorangpun terlihat disana. Akupun mencarinya kesana kemari hingga aku sampai
di tengah hutan sambil meneriaki namanya. Kabut tebal mulai menyelimuti, yang
rasanya suasana ini sangat tidak asing bagiku. Sayup-sayup kudengar ada suara
orang berteriak lirih. Akupun semakin mendekat menuju sumber suara. Sesampainya
disana yang kulihat hanyalah pohon eboni dengan bentuk yang mirip dengan
manusia, dengan ranting yang seperti tangan dan corak yang menggambarkan wajah.
Akupun semakin gelisah karena tak kudapati sosok Dita disana. Aku berlari
kesana kemari hingga langkahku mengecil dan tenaga ku terkuras habis. Akupun
terduduk dibawah sebuah pohon. Entah hanya imajinasiku atau apa, kudengar
pohon-pohon disekelilingku mulai meneriakkan nama Dita. Ketika aku mencoba
bangkit tubuhku terasa kaku, kakiku menancap di tanah yang dingin. Pikiranku
kosong, akupun mulai melantunkan nama Dita bersama para pohon.
Aku
hampir kehilangan kesadaranku, hingga dari balik pohon dan semak-semak muncul
sosok yang tidak asing bagiku menembus tebalnya kabut. Dia adalah Dita istriku.
Dia tersenyum begitu lebar lalu kemudian mendekat kearahku dan berbisik ke
telingaku.
“selamat manusia, engkau kini menjadi koleksiku,
tidakkah kau lihat pepohonan ini memiliki nasib yang sama sepertimu. Kalian
hanyalah budak dunia, tawanan kenikmatan. Bahkan kau rela membuang hidup
menyedihkanmu yang nyata demi kehidupan yang sesuai dengan keinginanmu walaupan
fana. Sekarang hiduplah bahagia di alam mimpimu”
Akupun memejamkan mataku dan mendengar tangisan
seorang perempuan yang menyayat hati. Aku mulai merasakan air mataku perlahan
menetes.
“kembalilah nak...”
Suara tangisan itu mulai terdengar lebih keras dari
yang sebelumnya, bahkan kini kudengar banyak orang yang menangis. Akupun
perlahan mulai mencoba membuka mataku. Kudapati diriku terbaring lemah di
ranjang rumah sakit. Aku mulai bertanya kepada diriku sendiri
“ini mimpi atau kenyataan?”
Semua yang kita sebut
“nyata” berasal dari sesuatu yang dirinya sendiri tidak bisa dianggap nyata
Komentar
Posting Komentar